DINAMIKA PELAKSANAAN
UUD 1945
Pasca kemerdekaan 17 agustus 1945 banyak peristiwa yang terjadi , antara lain :
a. Belanda ingin kembali menjajah indonesia
b. Pemberontakan terjadi dalam negeri seperti : PKI madiun(1948) DI/TII,PRRI Permesta dll.
c. Sistem pemerintahan mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut :
- KNIP yang tadinya membantu presiden memegang kekuasaan legislatif dan turut menetapkan GBHN (maklumat wapres no.X 16 oktober 1945.
- Sistem kabinet presidensial sistem kabinet parlementer
- Kekuasaan pemerintah dipegang oleh perdana menteri sebagai pemimpin kabinet dan menteri bertanggung jaab kepada KNIP yang berfungsi sbagai DPR
- Pada tanggal 27 desember 1949 dibentuk negara federal negara kesatuan republik indonesia serikat
- UUD 1945 diganti dengan konstitusi RIS (27 desember 1949 – 17 agustus 1950)
- Tanggal 17 agustus 1950 diberlakukan UUDS - juli 1959 yang juga menganut sistem parlementer
- Pada bulan september 1955 – desember 1955 diadakan pemilu I
- Pada tanggal 5 juli 1959 presiden mengeluarkan dekrit yang berisi :
1. Menetapkan pembukaan konstituante
2. Menetapkan UUD 1945 berlaku kembali dan UUDS tidak berlaku
3. Pembentukan MPR sementara
BAB II
ISI
A. Masa Orde Lama
Pada masa ini UUD 1945 belum dapat dilaksanakan dengan baik , banyak terdapat penyimpangan , antara lain :
a. Dikukuhkannya ideologi nasakom
b. Presiden ditetapkan menjabat seumur hidup
c. Demokrasi diarahkan menjadi demokrasi terpimpin
d. Presiden secara sepihak mengeluarkan produk hukum yang setingkat dengan UUD
e. Presiden membubarkan DPR (1960) dan membentuk DPR GR
f. Pimpinan lembaga tertinggi dan tinggi negara dijadikan menteri yang berarti sebagai pembantu presiden dll
Karena pelaksanaan UUD 1945 terlalu menyimpan ini ,maka terjadilah peristiwa berikut :
- Terjadi pemberontakan PKI
- Rakyat menyampaikan TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat) yaitu :
1. Bubarkan PKI
2. Bersihkan kabinet dari unsur PKI
3. Turunkan harga / perbaiki ekonomi
Adanya Tritura ini menyebabkan lahirnya surat perintah 11 maret 1966 yang memberikan wewenang kepada letjen Soeharto untuk mengambil langkah-langkah bila menegembalikan keamanan negara.
B. Masa Orde Baru
Berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan keamanan negara dan amanat ,pada waktu itu MPRS mengeluarkan berbagai TAP . yaitu :
1. TAP no.XIII / MPRS / 1966 tentang kabinet negara
2. TAP no.XVIII / MPRS / 1966 permintaan maaf atas pengangkutan presiden seumur hidup
3. TAP no.XX / MPRS /1966 tentang sumber tertib hukum RI
4. TAP no.XXII /MPRS / 1966 tentang penyerdahanaan kepartaian ,keormasan dan kekayaan
5. TAP no.XXV / MRS / 1966 tentang pembubaran PKI
Pada saat itu kondisi politik dan ekonomi tidak menentu sebagai MPRS mengadakan sidang istimewa yang menghasilkan sebagai berikut :
1. Presiden soekarno tidak dapat menjalankan tugas sesuai dengan konstitusi dan tidak menjalankan GBHN
2. Mengangkat jenderal soeharto sebagai pejabat presiden hingga dipilihnya presiden baru hasil pemilihan umum
Dalam masa orde baru ini (1967-1997) pelaksanaan UUD 1945 belum juga murni dan konsekuen ,praktis kekuasaan presiden tidak secara langsung kekuasaanlembaga tertinggi dan tinggi negara dibawah kekuasaan presidan . Tetapi seluruhnya hampir dituangkan dalam mekanisme peraturan antara lain :
1. UU no.16/1969 dan UU no.5/1975 tentang kedudukan DPR,MPR,DPRD
2. UU no.3/1975 dan UU no.3/1985 tentang parpol da golkar
3. UU no.15/969 dan UU no.4/1975 tentang pemilu
Orde baru berakhir pada tahun 1998 yang ditandai dengan lengsernya presiden Soeharto
Seiring berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia mengalami perkembangan yang pesat, hal
ini secara tidak langsung juga mempengaruhi hukum-hukum di beberapa Negara
termasuk Indonesia. Indonesia mengalami perubahan hukum yang mendasar, ditandai
dengan adanya amandemen pada UUD 1945. Pada awal terbentuknya, UUD 1945
memiliki 37 pasal, hingga sekarang setalah mengalami beberapa amandemen UUD
1945 telah memiliki pasal seumlah 39 pasal. Amandemen tersebut telah dilakukan
sebanyak empat kali. Amandemen pertama dimulai pada tanggal 19 oktober 1999
sebanyak dua pasal, amandemen kedua pada tanggal 18 agustus 2000 sebanyak 10
pasal, amandemen ke tiga pada tanggal 10 november 2001 sejumlah pasal, dan
amandemen keempat pada tanggal 10 agustus 2002 sejumlah 10 pasal ditambah 3
pasal aturan peralihan dan aturan tambahan 2 pasal. pasal-pasal yang di
amandemen diharapkan dapat memberikan perubahan bangsa kea rah yang lebih baik.
1. Pelaksanan UUD 1945
pada masa awal kemerdekaan (17 Agustus 1945 – 29 Desember 1949)
Pada awal kemerdekaan
Indonesia, KNIP mengusung gagasan pemerintahan parlementer karena khawatir
dengan pemberian kekuasaan yang begitu besar pada presiden oleh UUD. Karena itu
pada tanggal 7 oktober 1945, KNIP mengeluarkan momerandum yang meminta presiden
untuk segera membentuk MPR, menanggapi hal itu, presiden mengeluarkan maklumat
wakil presiden pada tanggal 16 oktober 1945 yang berisi “bahwa komite nasional
pusat, sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislative dan ikut
menetapkan GBHN, serta membentuk badan pekerjaan”, dan pada tanggal 3 november
1945, wakil presiden mengeluarkan maklumat lagi tentang kebebasan membentuk
banyak partai. Terbentuknya cabinet pertama berdasarkan system parlementer
dengan perdana menteri syahrir pada tanggal 14 november 1945. Hal itu berakibat
pada kestabilan Indonesia di bidang ekonomi, politik maupun pemerintahan.
Pada tanggal 27
desember 1949, dibentuklah negara federal yaitu Negara kesatuan republic
Indonesia Serikat yang berdasar pada RIS. Dalam Negara RIS tersebut masih
terdapat Negara bagian republic Indonesia yang ber ibukota di Yogyakarta. Pada
tanggal 17 agustus 1950, terjadi kesepakatan antara Negara RI yogyakarata
dengan Negara RIS untuk kembali membentuk Negara kesatuan berdasarkan pada
undang-undang dasar.
2. Pelaksanaan
UUD pada masa orde lama (demokrasi terpimpin) (5 juli 1959 – 11 maret 1966.
Pada tanggal 5 juli
1959 presiden menganggap NKRI dalam bahaya, karena itu presiden mengeluarkan
dekrit presiden yang isinya :
a)
Menetapkan pembubaran konstituante.
b)
Menetapkan UUD 1945 berlaku kembali bagi seluruh rakyat Indonesia, dan
terhitung mulai dari dikeluarkannya dekrit ini, UUD 1950 tidak diberlakukan
lagi.
c)
Pembentukan MPR sementara yang beranggotakan DPR, perwakilan daerah- daerah dan
dewan agung sementara.
Sejak dikeluarkannya
dekrit presiden tersebut, mulai berkuasa kekuasaan orde lama yang secara
ideologis banyak dipengaruhi oleh faham komunisme. Penyimpanagan
ideologis tersebut berakibat pada penyimpangan konstitusional seperti
Indonesia diarahkan menjadi demokrasi terpimpin dan bersifat otoriter yang
jelas menyimpang dari apa yang tercantum dalam UUD 1945. Puncaknya adalah
adanya pemberontakan G30S.PKI yang berhasil dihentikan oleh generasi muda
Indonesia dengan menyampaikan Tritula (Tri tuntutan Rakyat) yang isisnya:
1. Bubarkan PKI.
2. Bersihkan cabinet dari unsure-unsur KPI.
3. Turunkan harga/perbaikan ekonomi.
Gelombang gerakan
rakyat semakin besar, sehingga mengakibatkan dikeluarkannya surat perintah 11
maret 1966 yang memberiaka kekuasan pada Letnan Jenderal Soeharto untuk
mengambil langkah-langkah dalam mengembalikan keamanan Negara.
3. Pelaksanaan UUD
1945 masa orde baru (11 maret 1966 – 22 mei 1998)
Masa orde baru berada
dibawah kepemimpinan Soeharto dalam misi mengembalikan keadaan setelah
pemberontakan PKI, masa orde baru juga mempelopori pembangunan nasional
sehingga sering dikenal sebagai orde pembangunan.
MPRS mengeluarkan
berbagai macam keputusan penting, antara lain :
1. Tap MPRS No. XVIII/MPRS/1966 tentang kabinet
Ampera yang menyatakan agar presiden menugasi pengemban Super Semar,
Jenderal Soeharto untuk segera membentuk kabinet Ampera.
2. Tap MPRS No. XVII/MPRS/1966 yang dengan
permintaan maaf, menarik kembali pengangkatan pemimpin Besar Revolusi
menjadi presiden seumur hidup.
3. Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang memorandum
DPRGR mengenai sumber tertib hukum republik Indonesia dan
tata urutan perundang -undangan.
4. Tap MPRS No. XXII/MPRS/1966 mengenai
penyederhanaan kepartaian, keormasan dan kekaryaan.
5. Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran
partai komunis Indonesia dan pernyataan tentang partai tersebut sebagai
partai terlarang diseluruh wilayah Indonesia, dan larangan pada
setiap kegiatan untuk menyebar luaskan atau mengembangkan faham ajaran
komunisme/Marxisme, Leninisme.
Pada saat itu bangsa
Indonesia dalam keadaan yang tidak menentu baik di bidang politik, ekonomi
maupun keamanan. Oleh karena itu, pada bulan februari 1967, GDRGR mengeluarkan
suatu resolusi yaitu meminta MPR agar mengadakan siding istimewa pada bulan
maret 1967. Keputusan yang diperoleh dari sidang istimewa tersebut sebagai
berikut.
-
Sidang menetapkan berlakunya Tap No. XV/MPRS/1966 tentang pemilihan/penunjukan
wakil presiden dan tata cara pengangkatan pejabat presiden dan mengangkat
Jenderal Soeharto.
Pengembangan Tap. No.
6 IX/MPRS/1966, sebagai pejabat presiden berdasarkan pasal 8 Undang-Undang
Dasar 1945 hingga dipilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum. Dalam
kaitan dengan itu di bidang politik dilaksanakanlah pemilu yang dituangkan
dalam Undang-Undang No.15 tahun 1969 tentang pemilu umum, Undang-Undang No.16
tentang susunan dan kedudukan majelis permusyawaratan rakyat. Dewan perwakilan
rakyat dan dewan rakyat daerah.Atas dasar ketentuan undang-undang tersebut
kemudian pemerintah OrdeBaru berhasil mengadakan pemilu pertama. Dengan hasil
pemilu pertama tersebut pemerintah bertekat untuk memperbaiki nasib bangsa
Indonesia.
4. Pelaksanaan
UUD 1945 masa Reformasi ( 22 Mei 1998 – sekarang)
Masa Orde Baru di
bawah kepemimpinan presiden Soeharto sampai tahun 1998 membuat pemerintahan
Indonesia tidak mengamanatkan nilai-nilai demokrasi seperti yang tercantum
dalam Pancasila, bahkan juga tidak mencerminkan pelaksanaan demokrasi atas
dasar norma-norma dan pasal-pasal UUD 1945. Pemerintahan dicemari korupsi,
kolusi dan nepotisme(KKN). Keadaan tersebut membuat rakyat Indonesia semakin
menderita.Terutama karena adanya krisis moneter yang melanda Indonesia yang
membuat perekonomian Indonesia hancur. Hal itu menyebabkan munculnya berbagai
gerakan masyarakat yang dipelopori oleh generasi muda Indonesia terutama
mahasiswa sebagai gerakan moral yang menuntut adanya reformasi disegala bidang
Negara. Keberhasilan reformasi tersebut ditandai dengan turunnya presiden
Soeharto dari jabatannya sebagai presiden dan diganti oleh Prof. B.J Habibie
pada tanggal 21 mei 1998. Kemudian bangsa Indonesia menyadari bahwa UUD 45 yang
berlaku pada jaman orde baru masih memiliki banyak kekurangan, sehingga perlu
diadakan amandemen lagi. Berbagai macam produk peraturan perundang-undangan
yang dihasilkan dalam reformasi hukum antara lain UU. Politik Tahun 1999, yaitu
UU. No.2tahun 1999, tentang partai politik, UU. No.3 tahun 1999, tentang
pemilihan umumdan UU. No. 4 tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR,
dan DPRD; UUotonomi daerah, yaitu meliputi UU. No.25 tahun 1999. Tentang
pemerintahandaerah, UU. No.25 tahun 1999, tentang perimbangan keuangan antar
pemerintahanpusat dan daerah dan UU. No.28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan
negara yangbersih dan bebas dari KKN. Berdasarkan reformasi tersebut bangsa
Indonesia sudah mampu melaksanakan pemilu pada tahun 1999 dan menghasilkan MPR,
DPR dan DPRD hasil aspirasi rakyat secara demokratis.
1.DINAMIKA PELAKSANAAN UUD 1945
A. Masa Awal Kemerdekaan
Pada awal masa Indonesia
setelah memproklamasikan kemerdekaannayamengalami berbagai macam gangguan
terutama dalam upaya untukmempertahankan kemerdekaannya. Pada masa ini,
kolonialisme Belanda berupayauntuk mengembalikan kekuasaannya di Indonesia
dengan membonceng tentarasekutu. Selain itu juga telah terjadi
berbagaimacam pemberontakan yang bersumberpada pertentangan ideologi yang ingin
merubah negara kesatuan Republik Indonesia dengan ideologi lainnya. Antara
lain pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. PRRI Permesta, DI/TII dan
lain sebagainya.
Sistem pemerintahan
berdasarkan UUD 1945 belum dapat dilaksanakan.Pada tahun ini di bentuklah DPA
sementara, sedangkan DPR dan MPR belum dapat dibentuk karena harus melalui pemilu.
Waktu itu masih di berlakukan pasal aturan peralihan pasal IV yang menyatakan Sebelum Majelis
Permusyawaratan Rakyat,Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung
dibentuk menurut Undang-Undang Dasar, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden
dengan bantuan sebuah komite nasional.
Pada saat itu terjadilah
suatu perkembangan ketatanegaraan Indonesia yaitu(1) berubahnya fungsi komite nasional Indonesia pusat dari
pembantu Presiden menjadi
badan yang diserahi kekuasaan Legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis besar
haluan negara. Hal ini berdasarkan maklumat wakil presiden No. X (iks) tanggal
16 Oktober 1945. Selain itu dikeluarkan juga maklumat pemerintah tanggal
14 Nopember 1945. Yang isinya perubahan sistem pemerintahan negara dari system
Kabinet Presidensial menjadi sistem Kabinet Parlementer, berdasarkan usul
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP).
Akibat perubahan tersebut
pemerintah menjadi tidak stabil, Perdana Menteri hanya bertahan beberapa
bulan serta berulang kali terjadi pergantian.
Tanggal 3 November 1945
di keluarkan juga suatu maklumat yang ditandatangani oleh Wakil Presiden
yang isinya tentang pembentukan partai politik.Hal ini bertujuan agar
berbagai aliran yang ada didalam masyarakat dapat di arahkan kepada perjuangan
untuk memperkuat mempertahankan dengan persatuan dan kesatuan.
Sejak tanggal 14 Nopember
1945 kekuasaan pemerintah (eksekutif) dipegang oleh Perdana Menteri sebagi
pimpinan kabinet. Secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, perdana menteri atu
para menteri itu bertanggung jawap kepada KNPI, yang berfungsi sebagai
DPR, dan tidak bertanggung jawab kepada presiden sebagaimana yang dikehendaki
oleh UUD 1945. Hal ini berakibat semakin tidak setabilnya Negara Republik Indonesia baik di
bidang politik, ekonomi , pemerintahan maupun keamanan.Semangat ideologi liberal
itu kemudian memuncak dengan dibentuknya Negara Federal yaitu negara kesatuan
Republik Indonesia Serikat dengan berdasar pada konstitusi RIS,
pada tanggal 27 Desember 1949. Konstitusi RIS tersebut sebagai hasil
kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag negeri
Belanda.Syukurlah konstitusi itu tidak berlangsung lama dan Indonesia
kembali bersatu pada tahun 1950.Dalam negara
RIS tersebut masih terdapat negara bagian Republik Indonesia yang
beribukota di Yogyakarta. Kemudian terjadilah suatu persetujuan antara Negara
RI Yogyakarta dengan negara RIS yang akhirnya membuahkan kesepakatan untuk
kembali, untuk membentuk negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan pada Undang-Undang Dasar Sementara sejak 17 agustus 1950 isi
UUDS ini berbeda dengan UUD 1945 terutama dalam sistem pemerintahan
negara yaitu menganut sistem Parlementer, sedangkan UUD 1945 menganut
sistem Presidensial.
Pada bulan
September 1955 dan Desember 1955 diadakan pemilihan umum,yang
masing-masing untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota
konstituante.
Tugas konstituante adalah
untuk membentuk , menyusun Undang-Undang Dasar yang tetap sebagai
pengganti UUDS 1950. Untuk mengambil putusan mengenai Udang-Undang dasar yang
baru ditentukan pada pasal 137 UUDS 1950 sebagai berikut :
1. Untuk mengambil putusan tentang rancangan
Undang-Undang Dasar baru sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota
konstituante harus hadir.
2.Rancangan
tersebut diterima jika disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota yang hadir.
3.Rancangan
yang telah diterima oleh konstituante dikirimkan kepada Presiden untuk
disahkan oleh pemerintah.
4.Pemerintah
harus mengesahkan rancangan itu dengan segera serta mengumumkan
Undang-Undang Dasar itu dengan keluhuran.
Dalam
kenyataannya konstituante selama dua tahun dalam bersidang belum mampu
menghasilkan suatu keputusan tentang Undang-Undang Dasar yang baru.Hal
ini dikarenakan dalam sidang konstituante ,muncullah suatu usul untuk
mengembalikan Piagam Jakarta dalam pembukaan UUD baru. Oleh karena itu Presiden pada tanggal 22 april 1959 memberikan
pidatonya didepan siding Konstituante
untuk kembali kepada UUD 1945. Hal ini diperkuat dengan suatu alasan bahwa
sidang Konstituante telah mengalami jalan buntu. Terutama setelah lebih dari
separuh anggota Konstituante menyatakan untuk tidak akan menghadiri sidang
lagi.
Atas dasar kenyataan
tersebut maka Presiden mengeluarkan suatu dekrit yang didasarkan pada suatu
hukum darurat negara (Staatsnoodrecht). Hal ini menginggat keadaan ketata
negaraan yang membahayakan kesatuan, persatuan, keselamatan serta keutuhan
bangsa dan negara Repubik Indonesia.
Dekrit presiden 5 juli 1959 :
1. Menetapkan pembubaran konstituante.
2. Menetapkan Undang-Undang _dasar 1945
berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia serta tumpah darah
Indonesia,terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak
berlakunya lagi Undang-Undang Dasar 1950.
3. Pembentukan majelis permusyawaratan rakyat
sementara yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah
dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta Dewan Agung
Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya.Dekrit itu diumumkan oleh Presiden dari Istana Merdeka
di hadapan rakyat pada tanggal 5 juli 1959, pada hari minggu pukul 17.00
Dekrit tersebut dimuat dalam keputusan Presiden No.150 tahun 1959 dan di
umumkan dalam lembaranNegara
Republik Indonesia no.75 tahun 1959.
B. Masa Orde Lama
Sejak dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 juli 1959 itu maka UUD 1945 berlaku kembali di Negara Republik Indonesia.
Sekalipun UUD 1945 secara yuridis formal sebagai hukum dasar tertulis yang
berlaku di Indonesia namun realisasi ketatanegaraan Indonesia tidak
melaksanakan makna dari UUD 1945 itu sendiri.Sejak itu mulai berkuasa
kekuasaan Orde Lama yang secara ideologis banyak dipengaruhi oleh paham
komunisme. Hal ini nampak adanya berbagai macam penyimpangan ideologis
yang dituangkan dalam berbagai bidang kebijaksanaan dalam negara.
Dikukuhkannya ideologi
Nasakom, dipaksakannya doktrin Negara dalam keadaan revolusi. Oleh karena
revolusi adalah permanen maka Presiden sebagai Kepala Negara yang
sekaligus juga sebagai Pemimpin Besar Revolusi, diangkat menjadi Pemimpin
Besar Revolusi, sehingga Presiden masa jabatannya seumur
hidup.Penyimpangan ideologis maupun konstitusional ini berakibat pada
penyimpangan-penyimpangan konstitusional lainnya sebagai berikut,
1. Demokrasi di Indonesia diarahkan menjadi
demokrasi terpimpin, yang dipimpin
oleh presiden, sehingga praktis bersifat otoriter.pada sebenarnya di negara Indonesia yang
berdasarkan Pancasila berazas-kan kerakyatan,sehingga seharusnya rakyatlah
sebagai pemegang serta asal mula kekuasaan negara, demikian juga
sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945.
2. Oleh karena Presiden sebagai pemimpin besar
revolusi maka memiliki wewenang yang melebihi sebagaimana yang sudah di
tentukan oleh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mengeluarkan produk hukum
yang setingkat denganUndang-Undang tanpa melalui persetujuan DPR dalam
bentuk penetapanpresiden.
3. Dalam tahun 1960, karena DPR tidak
dapat menyetujui rancangan pendapatan dan Belanja Negara yang di ajukan
oleh pemerintah. Kemudian presiden waktuitu membubarkan DPR hasil pemilu 1955
dan kemudian membentuk DPR gotong royong. Hal ini jelas-jelas sebagai
pelanggaran konstitusional yaitukekuasaan eksekutif di atas kekuasaan
legislatif.
4.Pimpinan
lembaga tertinggi dan tinggi negara dijadikan menteri negara, yangberarti
sebagai pembantu presiden.Selain penyimpangan-penyimpangan tersebut masih
banyak penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan ketatanegaraan yang
seharusnya berdasarkanpada UUD 1945. Karena pelaksanaan yang
inskonstitusional itulah maka berakibatpada ketidak stabilan dalam bidang
politik, ekonomi terutama dalam bidangkeamanan. Puncak dari kekuasaan
Orde Lama tersebut ditandai denganpemberontakan G30S.PKI. syukur
alhamdulillah pemberontakan tersebut dapatdigagalkan oleh rakyat Indonesia terutama
oleh generasi muda.Dengan dipelopori oleh pemuda, pelajar, dan
mahasiswa rakyat IndIndonesiamenyampaikan Tritula (Tri Tuntutan Rakyat)
yang meliputi,
a.Bubarkan PKI.
b.Bersihkan kabinet dari
unsur-unsur KPI.
c.Turunkan harga/perbaikan
ekonomi.Gelombang gerakan rakyat semakin besar, sehingga presiden tidak
mampulagi mengembalikannya,
maka keluarlah surat perintah 11 maret 1966
yang
memberikan kepada Letnan Jenderal Soeharto
untuk mengambil langkah-langkahdalam mengembalikan keamanan negara.
Sejak peristiwa inilah sejarahketatanegaraan Indonesia dikuasai oleh
kekuasaan Orde Baru (Darmodihardjo) 1979
C. Masa Orde Baru
Orde Baru di bawah
pimpinan Soeharto pada awalnya untuk mengembalikankeadaan setelah
pemberontakan PKI bertekat untuk mempelopori pembangunannasional Indonesia
sehingga orde baru juga sering di istilahkan sebagai ordepembangunan.
Untuk itu MPRS mengeluarkan berbagaimacam keputusan pentingantara lain
sebagai berikut:
1.Tap MPRS No.
XVIII/MPRS/1966 tentang kabinet Ampera yang isinyamenyatakan agar presiden
menugasi pengemban Super Semar, JenderalSoeharto untuk segera membentuk kabinet
Ampera.
2.Tap MPRS No. XVII/MPRS/1966
yang dengan permintaan maaf, menarikkembali pengangkatan pemimpin Besar
Revolusi menjadi presiden seumurhidup.
3.Tap MPRS No. XX/MPRS/1966
tentang memorandum DPRGR mengenaisumber tertib hukum republik Indonesia dan
tata urutan perundang -undangan.
4.Tap MPRS No. XXII/MPRS/1966
mengenai penyederhanaan kepartaian,keormasan dan kekaryaan.
5.Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966
tentang pembubaran partai komunisIndonesia dan pernyataan tentang partai
tersebut sebagai partai terlarang diseluruh wilayah Indonesia, dan larangan
pada setiap kegiatan untukmenyebar luaskan atau mengembangkan faham
ajarankomunisme/Marxisme, Leninisme.Pada saat itu bangsa Indonesia dalam
keadaan yang tidak menentu baik yangmenyangkut bidang politik, ekonomi maupun
keamanan. Dalam keadaan yangdemikian inilah pada bulan februari
1967 DPRGR mengeluarkan suatu resolusi yaitumeminta
MPR (S) agar mengadakan sidang istimewa pada bulan maret 1967. Sidangistimewa
tersebut mengambil suatu keputusan sebagai berikut.
1.Presiden Soekarno telah
tidak dapat memenuhi tanggung jawabankonstitusional dan tidak dapat menjalankan
haluan dan putusan MPR (S),sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Dasar 1945.
2.Sidang menetapkan
berlakunya Tap No. XV/MPRS/1966 tentangpemilihan/penunjukan wakil presiden
dan tata cara pengangkatan pejabatpresiden dan mengangkat Jenderal
Soeharto. Pengembangan Tap. No. 6
IX/MPRS/1966, sebagai pejabat presiden
berdasarkan pasal 8 Undang-Undang
Dasar 1945 hingga dipilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihanumum. Pada masa awal kekuasaan Orde Baru berupaya untuk memperbaiki
nasibbangsa dalam berbagai bidang antara lain dalam bidang politik,
ekonomi, soaial,budaya maupun keamanan. Dalam kaitan dengan itu di bidang
politikdilaksanakanlah pemilu yang dituangkan
dalam Undang-Undang No.15 tahun 1969tentangpemilu umum, Undang-Undang
No.16 tentang susunan dan kedudukanmajelis permusyawaratan rakyat. Dewan perwakilan
rakyat dan dewan pewalanrakyat daerah.Atas dasar ketentuan
undang-undangtersebut kemudian pemerintah OrdeBaru berhasil mengadakan pemilu
pertama. Dengan hasil pemilu pertama tersebutpemerintah bertekat untuk
memperbaiki nasip bangsa Indonesia. Pada awalnyabangsa Indonesia memang
merasakan atas perubahan peningkatan nasib bangsadalam berbagai bidang melalui
suatu program negara yang dituangkan dalam GBHNyang disebut pelita
(pembangunan lima tahun). Hal ini wajar dirasakan oleh bangsaIndonesia karena sejak
tahun 1945 setelah kemerdekaan nasib bangsa Indonesiasenantiasa dalam
kesulitan dan kemiskinan.Namun demikian lambat laun program-program negara
buakannyadiperuntukan kepada rakyat melainkan demi kekuasaan. Mulailah
ambisi kekuasaanorde baru menjalar keseluruh sandi-sandi kehidupan
ketatanegaraan Indonesia.Kekuasaan orde baru menjadi otoriter namun seakan-akan
dilaksanakan secarademokratis. Penafsiran dan penuangan pasal-pasal
Undang-Undang Dasar 1945 tidakdilaksanakan sesuai dengan amanat sebagaimana
tertuang dan terkandung dalamUndang-Undang Dasar tersebut melainkan
dimanipulasikan demi kekuasaan.Bahkan pancasila pun diperalat demi legitimasi
kekuasaan dan tindakan presiden.Hal ini terbukti dengan adanya ketetapan
MPR No. II/MPR/1978. Tentang P-4 yangdalam kenyataannya sebagai media
untuk propaganda kekuasaan orde baru.Realisasi UUD 1945 praktisi lebih banyak
memberikan porsi atas kekuasaanpresiden. Walupun sebenarnya UUD 1945 tidak
mengamanatkan demikian. Bahkansecara tidak langsung kekuasaan legislatif di
bawah kekuasaan presiden. Hal inisecara politis dituangkan dalam mekanisme
peraturan perundang-undanganterutama yang menyangkut pemilihan, pengangkatan
serta susunan keanggotaanMPR, DPR, DPRD sera pelaksanaan pemilu. Praktek ini
telah dilaksanakan olehpenguasa orde baru yang di tuangkan kedalam peraturan
perundang-undangansebagai berikut, UU. Tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR,
dan DPRD (UUNo.16/1969 jis UU No.5/1975 dan UU. No.2/1985). UU
tentang partai politik dangolongan karya (UU No.3/1975.jo. UU. No.3/1985).
UU. Tentang pemilihan umum(UU No.15/1969 jis UU.No.4/1975. UU.
No.2/1980, dan UU. No.1/1985).Dengan UU.
Politik sebagaimana tersebut di atas maka praktisi secara politiskekuasaan
legislatif di bawah presiden. Terlebih lagi oleh karena sistem politik yangdemikian
maka hak asasi rakyat dibatasi bahkan di tekan demi kekuasaan, sehinggaamanat
sebagaimana tertuang dalam pasal28 UUD 1945, tidak di realisasikan
secarakonsekuen. Oleh karena kekuasaan politik orde baru di bawah Soeharto
semakinsulit untuk dikontrol. Kemudian tatkala terjadi krisis ekonomi
khususnya di AsiaTenggara, maka di
Indonesia krisis ekonomi tersebut berkembang menjadi krisiskepercayaan
berikutnya menjalar kepada krisis politik. Atas dasar
kenyataanpenyimpanganketatanegara secara politis tersebut maka generasi muda di
bawahpelopor garda depan mahasiswa mengadakan gerakan reformasi
untukmengembalikan dan menata negara ke arah tetenan negara yang demokratis
D. Masa Reformasi
Kekuasaan Orde Baru di
bawah Soeharto sampai tahun 1998 membawaketatanegaraan Indonesia tidak
mengamanatkan nilai-nilai demokrasi sebagaimanayang tergantung dalam Pancasila
yang mendasarkan pada kerakyatan didimanarakyat memiliki kekuasaan tertinggi
dalam negara, bahkan juga sebenarnya jugatidak mencerminkan pelaksanaan
demokrasi atas dasarnorma-norma pasal-pasalUUD 1945. Praktek kenegaraan
dijangkiti penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme(KKN). Keadaan yang demikian
ini membawa rakyat Indonesia semakin menderita.Terutama karena adanya
badai krisis ekonomi dunia yang juga melanda Indonesiamaka praktisi GBHN 1998
pada PJP II pelita ketujuh tidak dapat dilaksanakan.Ekonomi Indonesia
hancur. Sektor riil ekonomi macet, PHK, pengangguran meningkat tajam
sehingga terjadilah krisi kepercayaan dan krisis politik.
atiklimaks dari keadaan tersebut, timbullah
berbagai gerakan masyarakatyang dipelopori oleh generasi muda
terutama mahasiswa sebagai sesuatu gerakanmoral yang memiliki kekuatan
yang luar biasa yang menuntut adanya reformasi disegala bidang kehidupan
negara terutama bidang politik, ekonomi dan hukum .Awal keberhasilan
gerakan reformasi tersebut adalah ditandai denganmundurnya presiden Soeharto
dari singgasana kepresidenan dan diganti oleh wakilpresiden Prof. Dr. Bj.
Habibie pada tanggal 21 mei 1998. Pemerintahan Habibie inilahyang
merupakan pemerintahan transisi yang akan membawa bangsa Indonesia untuk
melakukan reformasi secara menyeluruh, terutama menata ketatanegaraanIndonesia
sesuai dengan UUD 1945.Bangsa indnesia menilai bahwa penyimpangan atas makna
UUD 1945 yangtelah dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru selain karena
moral penguasa negara,juga terdapat berbagai kelemahan yang tergantung dalam
beberapa pasal UUD1945. Oleh karena itu selain melakukan reformasidalam bidang
politik yang harusmelalui suatu mekanisme peraturan perundang-undangan juga
dikarenakan terdapatbebrapa pasl UUD 1945 yang mudah di interpretsi secara
ganda (multiinterpretable), sehingga bangsa Indonesia merasa perlu untuk
mengadakanamandemen terhadap beberapa pasal dalam UUD 1945.Berbagai macam produk
peraturan perundang-undangan yang telahdihasilkan dalam reformasi hukum antara
lain UU. Politik Tahun 1999, yaitu UU. No.2tahun 1999, tentang partai politik, UU. No.3 tahun
1999, tentang pemilihan umumdan UU. No. 4 tahun 1999 tentang susunan dan
kedudukan MPR, DPR, dan DPRD; UUotonomi
daerah, yaitu meliputi UU. No.25 tahun 1999. Tentang pemerintahandaerah, UU.
No.25 tahun 1999, tentang perimbangan keuangan antar pemerintahanpusat dan
daerah dan UU. No.28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yangbersih dan
bebas dari KKN. Atas dasar hasil reformasi tersebut bangsa Indonesiatelah mampu
mengadakan pemilu pada tahun 1999, yang kemudian menghasilkanMPR, DPR, dan DPRD
yang benar-benar merupakan hasil aspirasi rakyat secara demokratis
2. Penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah
orde lama :
Orde lama merupakan konsep yang biasa dipergunakan untuk
menyebut suatu periode pemerintahan yang ditandai dengan berbagai penyimpangan
terhadap Pancasila dan UUD 1945. Kegagalan konstituante dalam merumuskan undang
– undang dasar baru dan ketidakmampuan menembus jalan buntu untuk kembali ke
UUD 1945, telah mendoronng Presiden soekarno pada tanggal 5 juli mengeluarkan
“Dekrit Presiden”. Tindak lanjut dari dekrit presiden tanggal 5 juli 1959
adalah pembentukn cabinet baru yang diberi nama Kabinet Karya. Dalam prakteknya
(atau masa Orde Lama), lembaga – lembaga Negara yang ada belum dibentuk
berdasarkan UUD 1945sehingga sifatnya masih sementara. Dalam masa ini, Presiden
selaku pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasaan legislative (bersama
– sama dengan DPRGR) telah menggunakan kekuasaannya dengan tidak semestinya.
Penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 terus berlangsung. Ketetapan MPRS
No. III/MPRS/1963 tentang pengangkatan presiden seumur hidup jelas bertentangan
dengan UUD 1945. pendek kata, periode pemerintahan antara tahun 1959-1965
ditandai oleh berbagai penyelewengan wewenang dan penyimpangan tarhadap
pancasila dan UUD 1945 sehingga disebut sebagai masa orde lama. Hampir semua
kebijaksanaan yang dikeluarkan pemerintah sangat menguntungkan PKI.
Adapun penyimpangan lainnya :
1.kekuasaan tunggal
2.terlalu banyak pembangunan fisik tanpa pembangunan mentalmasyarakat
3.terlalu dekat dengan komunisme
4.terlalu berambisi menyatukan nasionalisme agama dan komunis yang notabene amat bertentangan antara agama dan komunis
5.banyak hak rakyat yang terabaikan
6.inflasi yang terlalu besar..
2.terlalu banyak pembangunan fisik tanpa pembangunan mentalmasyarakat
3.terlalu dekat dengan komunisme
4.terlalu berambisi menyatukan nasionalisme agama dan komunis yang notabene amat bertentangan antara agama dan komunis
5.banyak hak rakyat yang terabaikan
6.inflasi yang terlalu besar..
7. MPRS mengangkat ir.soekarno sbg presiden seumur hidup
8. Penyimpangan ideologis, konsepsi pancasila berubah mjd nasakom (nasionalis, agama, komunis)
9. Kaburnya politik luar negeri yang bebas aktif mjd "politik poros-porosan" (mengakibatkan indo keluar dr pbb)
10. DPR hasil pmlu 1955 dibubarkan presiden
11. Hak budget DPR tidak brjln lagi stlh th 1960
8. Penyimpangan ideologis, konsepsi pancasila berubah mjd nasakom (nasionalis, agama, komunis)
9. Kaburnya politik luar negeri yang bebas aktif mjd "politik poros-porosan" (mengakibatkan indo keluar dr pbb)
10. DPR hasil pmlu 1955 dibubarkan presiden
11. Hak budget DPR tidak brjln lagi stlh th 1960
3.Penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah
orde baru :
yaitu
a.pemilihan umum yang tidak jujur
b.monoloyalitas,pengekangan kebebasan
berpolitik bagi pegawai negri sipil untuk mendukung partai politik ttt
c.interpensi pemerintahan terhadap lembaga
peradilan
d.pengekangan kebebasan mengemukakan pendapat
(penculikan aktivis)
e.format politik yang tidak demokratis
f.maraknya praktik kkn
g.pembatasan partai politik
h. ‘’ kebebasan pers
Norma-Norma Demokrasi, antara lain :
a. Adanya kebebasan yang harus disertai dengan tanggung jawab baik terhadap masyarakat, bangsa maupun terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b. Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
c. Menjamin dan memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam kehidupan bersama.
d. Mengakui perbedaan individu, kelompok, ras suku, agama, karena merupakan suatu bawaan kodrat manusia.
e. Mengakui adanya persamaan hak yang melekat pada setiap individu, kelompok, ras, suku, dan agama.
f. Mengarahkan perbedaan dalam suatu kerjasama kemanusiaan yang beradab.
g. Menjunjung tinggi atas masyarakat sebagai moral kemanusiaan yang beradb.
h. Mewujudkan dan mendasarkan suatu keadilan dalam kehidupan social agar tercapai tujuan bersama.
Faktor Penyebab
Munculnya Reformasi
Banyak hal yang mendorong timbulnya reformasi pada masa
pemerintahan Orde Baru, terutama terletak pada ketidakadilan di bidang politik,
ekonomi dan hukum. Tekad Orde Baru pada awal kemunculannya pada tahun 1966
adalah akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen
dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
1. Krisis Politik
9
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan
menimbulkan permasalahan
politik. Ada kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok
tertentu, bahkan lebih banyak di pegang oleh para penguasa. Dalam UUD 1945
Pasal 2 telah disebutkan bahwa “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan
dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Pada dasarnya secara de jore (secara hukum)
kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat,
tetapi secara de facto (dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan
direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR itu diangkat berdasarkan ikatan
kekeluargaan (nepotisme).
Keadaan seperti ini mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya
kepada institusi pemerintah, DPR, dan MPR. Ketidak percayaan itulah yang
menimbulkan munculnya gerakan reformasi. Gerakan reformasi menuntut untuk
dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dam MPR
yang dipandang sarat dengan nuansa KKN.
Gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan
terhadap lima paket undang-undang politik yang dianggap menjadi sumber
ketidakadilan, di antaranya :
·
UU No. 1 Tahun 1985
tentang Pemilihan Umum
·
UU No. 2 Tahun 1985
tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR / MPR
·
UU No. 3 Tahun 1985
tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
·
UU No. 5 Tahun 1985
tentang Referendum
·
UU No. 8 Tahun 1985
tentang Organisasi Massa.
Perkembangan ekonomi dan pembangunan nasional dianggap telah
menimbulkan ketimpangan ekonomi yang lebih besar. Monopoli sumber ekonomi oleh
kelompok tertentu, konglomerasi, tidak mempu menghapuskan kemiskinan pada
sebagian besar masyarakat Indonesia. Kondisi dan situasi Politik di tanah air
semakin memanas setelah terjadinya peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996.
Peristiwa ini muncul sebagai akibat terjadinya pertikaian di dalam internal
Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Krisis politik sebagai faktor penyebab terjadinya gerakan
reformasi itu, bukan hanya menyangkut masalah sekitar konflik PDI saja, tetapi
masyarakat menuntut adanya reformasi baik didalam kehidupan masyarakat, maupun
pemerintahan Indonesia. Di dalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan
bahwa tekanan pemerintah pada pihak oposisi sangat besar, terutama terlihat
pada perlakuan keras terhadap setiap orang atau kelompok yang menentang atau
memberikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil atau dilakukan oleh
pemerintah. Selain itu, masyarakat juga menuntut agar di tetapkan tentang
pembatasan masa jabatan Presiden.
Terjadinya ketegangan politik menjelang pemilihan umum tahun
1997 telah memicu
10
munculnya kerusuhan baru yaitu konflik antar agama dan etnik
yang berbeda. Menjelang akhir kampanye pemilihan umum tahun 1997, meletus
kerusuhan di Banjarmasin yang banyak memakan korban jiwa.
Pemilihan umum tahun 1997 ditandai dengan kemenangan Golkar
secara mutlak. Golkar yang meraih kemenangan mutlak memberi dukungan terhadap pencalonan
kembali Soeharto sebagai Presiden dalam Sidang Umum MPR tahun 1998 – 2003.
Sedangkan di kalangan masyarakat yang dimotori oleh para mahasiswa berkembang
arus yang sangat kuat untuk menolak kembali pencalonan Soeharto sebagai
Presiden.
Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 Soeharto terpilih sebagai
Presiden Republik Indonesia dan BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden. Timbul
tekanan pada kepemimpinan Presiden Soeharto yang dating dari para mahasiswa dan
kalangan intelektual.
2. Krisis Hukum
Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat
banyak ketidakadilan. Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh
kalangan mahasiswa, masalah hukum juga menjadi salah satu tuntutannya.
Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar dapat mendudukkan
masalah-masalah hukum pada kedudukan atau posisi yang sebenarnya.
3. Krisis Ekonomi
Krisi moneter yang melanda Negara-negara di Asia Tenggara sejak
bulan Juli 1996, juga mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ekonomi
Indonesia ternyata belum mampu untuk menghadapi krisi global tersebut. Krisi
ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika Serikat.
Ketika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan
ekonomi Indonesia menjadi 0% dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin
bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan yaitu dengan
dilikuidasainya sejumlah bank pada akhir tahun 1997. Sementara itu untuk
membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (KLBI). Ternyata udaha yang dilakukan pemerintah ini tidak
dapat memberikan hasil, karena pinjaman bank-bank bermasalah tersebut semakin
bertambah besar dan tidak dapat di kembalikan begitu saja.
Krisis moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan keuangan
Negara, tetapi juga telah menghancurkan keuangan nasional. Faktor lain yang
menyebabkan krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak terlepas dari masalah
utang luar negeri. Utang Luar Negeri Indonesia Utang luar negeri Indonesia
menjadi salah satu faktor penyebab munculnya krisis ekonomi. Namun, utang luar
negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang Negara, tetapi sebagian lagi
merupakan utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan Negara hingga 6 februari
1998 mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, utang pihak swasta mencapai
73,962 miliar dollar Amerika Serikat. Akibat dari utang-utang tersebut maka
kepercayaan luar
11
negeri terhadap Indonesia semakin menipis. Keadaan seperti ini
juga dipengaruhi oleh keadaan perbankan di Indonesia yang di anggap tidak sehat
karena adanya kolusi dan korupsi serta tingginya kredit macet.
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai
tujuan menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai Negara industri, namun tidak
mempertimbangkan kondisi riil di masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan
sebuah masyarakat agrasis dan tingkat pendidikan yang masih rendah.
Sementara itu, pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan
Orde Baru sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila. Dalam Pasal
33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh
semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.
Sebaliknya, sistem ekonomi yang berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru
adalah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan
berbagai bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
Pola Pemerintahan Sentralistis Sistem pemerintahan yang
dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru bersifat sentralistis. Di dalam
pelaksanaan pola pemerintahan sentralistis ini semua bidang kehidupan berbangsa
dan bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintah yakni di Jakarta.
Pelaksanaan politik sentralisasi yang sangat menyolok terlihat pada
bidang ekonomi. Ini terlihat dari sebagian besar kekayaan dari daerah-daerah
diangkut ke pusat. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan pemerintah dan rakyat di
daerah terhadap pemerintah pusat. Politik sentralisasi ini juga dapat dilihat
dari pola pemberitaan pers yang bersifat Jakarta-sentris, karena pemberitaan
yang berasala dari Jakarta selalu menjadi berita utama. Namun peristiwa yang
terjadi di daerah yang kurang kaitannya dengan kepentingan pusat biasanya kalah
bersaing dengan berita-barita yang terjadi di Jakarta dalam merebut ruang,
halaman, walaupun yang memberitakan itu pers daerah.
4. Krisis Kepercayaan
Demontrasi di lakukan oleh para mahasiswa bertambah gencar
setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos Elang Mulia
Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan.
Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas dari
kalangan kampus dan masyarakat yang menantang kebijakan pemerintahan yang
dipandang tidak demokratis dan tidak merakyat.
Soeharto kembali ke Indonesia, namun tuntutan dari masyarakat
agar Presiden Soeharto mengundurkan diri semakin banyak disampaikan. Rencana
kunjungan mahasiswa ke Gedung
12
DPR / MPR untuk melakukan dialog dengan para pimpinan DPR / MPR
akhirnya berubah menjadi mimbar bebas dan mereka memilih untuk tetap tinggal di
gedung wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan reformasi total di penuhinya.
Tekanan-tekanan para mahasiswa lewat demontrasinya agar presiden Soeharto
mengundurkan diri akhirnya mendapat tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan DPR
/ MPR. Maka pada tanggal 18 Mei 1998 pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan
agar Presiden Soeharto mengundurkan diri.
Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama,
tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian Presiden mengumumkan tentang
pembentukan Dewan Reformasi, melakukan perubahan kabinet, segera melakukan
Pemilihan Umum dan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai Presiden.
Dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan Reformasi dan
perubahan kabinet tidak dapat dilakukan. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998
Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden
Republik Indonesia dan menyerahkan Jabatan Presiden kepada Wakil Presiden
Republik Indonesia, B.J. Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah
Agung sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru di Istana.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Dari Sejarah panjang mengenai dinamika politik
pada masa orde lama di Indonesia yang berhubungan dengan praktek politik
berdasar demokrasi muncul semenjak dikelurkannya Maklumat Wakil Presiden No.X,
3 November 1945, yang menganjurkan pembentukan partai-partai politik.
Perkembangan demokrasi dalam masa revolusi dan demokrasi parlementer dicirikan
oleh distribusi kekuasaan yang khas. Presiden Soekarno ditempatkan sebagai
pemilik kekuasaan simbolik dan ceremonial, sementara kekuasaan pemerintah yang
nyata dimiliki oleh Perdana Menteri, kabinet dan parlemen. Kegiatan partisipasi
politik di masa itu berjalan dengan hingar bingar, terutama melalui saluran partai
politik yang mengakomodasikan berbagai ideologi dan nilai-nilai primordialisme
yang tumbuh di tengah masyarakat. Namun, demikian, masa itu ditandai oleh
terlokalisasinya proses politik dan formulasi kebijakan pada segelintir elit
politik semata, hal tersebut ditunjukan pada rentang 1945-1959 ditandai dengan
adanya tersentralisasinya kekuasaan pada tangan elit-elit partai dan masyarakat
berada dalam keadaan terasingkan dari proses politik.
Keruntuhan Orde Lama dan kelahiran Orde
Baru di penghujung tahun 1960-an menandai tumbuhnya harapan akan perbaikan
keadaan sosial, ekonomi dan politik. Dalam
13
kerangka ini, banyak kalangan berharap akan
terjadinya akselerasi pembangunan politik ke arah demokrasi. Salah satu harapan
dominan yang berkembang saat itu adalah bergesernya power relationship antara
negara dan masyarakat. Harapan akan tumbuhnya demokrasi tersebut adalah harapan
yang memiliki dasar argumen empirik yang memadai diantaranya adalah berbeda
dengan demokrasi terpimpin Bung Karno yang lahir sebagai produk rekayasa elit,
orde baru lahir karena adanya gerakan massa yang berasal dari arus keinginan
arus bawah, kemudian rekrutmen elit politik di tingkat nasional yang dilakukan
oleh pemerintah Orde Baru pada saat pembentukannya memperlihatkan adanya kesejajaran.
Dalam artian, mengenai kebijakan politik yang ada tidak lagi diserahkan pada
peran politis dan ideology, melainkan pada para teknokrat yang ahli. Sejalan
dengan dasar empirik sebelumnya, masa awal orde baru ditandai oleh terjadinya
perubahan besar dalam pegimbangan politik di dalam Negara dan masyarakat,
sebelumya pada era Orde Lama kita tahu bahwa pusat kekuasaan ada di tangan
presiden, militer dan PKI. Namun pada Orde Baru terjadi pergeseran pusat
kekuasaan dimana dibagi dalam militer, teknokrat, dan kemudian birokrasi. Namun
harapan itu akhirnya menemui ajalnya ketika pada pemilu 1971, golkar secara
mengejutkan memenangi pemilu lebih dari separuh suara dalam pemilu.Itulah
beberapa sekelumit cerita tentang Orde Lama dan Orde Baru, tentang bagaimana
kehidupan sosial, politik dan ekonomi di masa itu. Yang kemudian pada orde baru
akhirnya tumbang bersamaan dengan tumbangnya Pak Harto atas desakan para
mahasiswa di depan gendung DPR yang akhrinya pada saat itu titik tolak era
Reformasi lahir. Dan pasca reformasilah demokrasi yang bisa dikatakan demokrasi
yang di Inginkan pada saat itu perlahan-lahan mulai tumbuh hingga sekarang ini.
B. SARAN
Perjalanan kehidupan birokrasi di Indonesia
selalu dipengaruhi oleh kondisi sebelumnya. Budaya birokrasi yang telah
ditanamkan sejak jaman kolonialisme berakar kuat hingga reformasi saat ini.
Paradigma yang dibangun dalam birokrasi Indonesia lebih cenderung untuk
kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang
demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada
pemenuhan hak sipil warga negara. Budaya birokrasi yang korup semakin menjadi
sorotan publik saat ini. Banyaknya kasus KKN menjadi cermin buruknya mentalitas
birokrasi secara institusional maupun individu.
Sejak orde lama hingga reformasi, birokrasi selalu menjadi alat
politik yang efisien dalam melanggengkan kekuasaan. Bahkan masa orde baru,
birokrasi sipil maupun militer secara
14
terang-terangan mendukung pemerintah dalam mobilisai dukungan
dan finansial. Hal serupa juga masih terjadi pada masa reformasi, namun hanya
di beberapa daerah. Beberapa kasus dalam Pilkada yang sempat terekam oleh media
menjadi salah satu bukti nyata masih adanya penggunaan birokrasi untuk suksesi.
Sebenarnya penguatan atau ”penaklukan” birokrasi bisa saja dilakukan dengan
catatan bahwa penaklukan tersebut didasarkan atas itikad baik untuk
merealisasikan program-program yang telah ditetapkan pemerintah. Namun
sayangnya, penaklukan ini hanya dipahami para pelaku politik adalah untuk
memenuhi ambisi dalam memupuk kekuasaan.
Mungkin dalam hal ini, kita sebagai penerus
bangsa harus mampu dan terus bersaing dalam mewujudkan Indonesia yang lebih
baik dari sebelumnya , harga diri bangsa Indonesia adalah mencintai dan menjaga
aset Negara untuk dijadikan simpanan buat anak cucu kelak. Dalam proses
pembangunan bangsa ini harus bisa menyatukan pendapat demi kesejahteraan
masyarakat umumnya.
ALASAN-ALASAN
MELAKUKAN PERUBAHAN UUD 1945
A.Mukhtie Fadjar dalam
Pidato Pengukuhan guru Besarnya “Reformasi Konstitusi dalam masa Transisi
Paradigmatik” mengemukakan lima alasan perlunya melakukan perubahan terhadap
UUD 1945, yaitu historis, filosofis, teoritis, yuridis, dan
politik-praktis.
Pertama, secara historis, pemikiran yang mendorong perubahan UUD 1945 terkait dengan sifat kesementaraan UUD. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Soekarno sebagai berikut:
“UUD yang dibuat sekarang adalah UUD Sementara. kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah UUD kilat. Nanti kalau kita telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis permusyawaratan rakyat yang dapat membuat UUD yang lebih lengkap dan lebih sempurna.”
Dalam kesempatan pelantikan anggota Konstituante pada tanggal 10 November 1956, Soekarno mengulangi kembali pernyataan yang hampir senada sebagai berikut:
“kita bukan tidak punya konstitusi, malahan dengan konstitusi yang berlaku sekarang (UUD Sementara 1950,pen.) kita sudah mempunyai tiga konstitusi. Tapi semua konstitusi itu (UUd 1945, KRIS 1949 dan UUD Sementara 1950,pen.) adalah bersifat sementara. Semua konstitusi itu bukanlah hasil permusyawaratan antara angggota-anggota sesuatu konstituanse yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Semua konstitusi itu adalah buatan sarjana konstitusi, atas amanat pemerintah. Tapi semua Negara hukum yang demokratis, menghendaki sebagai syarat mutlak sebbuah konstitusi yang dibuat oleh tangan rakyat sendiri”.
Alasan Soekarno mengatakan konstitusi sebagai konstitusi sementara terkait dengan kondisi obyektif yang berada di sekitar persiapan dan penetapan UUD 1945 itu sendiri. Ketika itu, dalam suasana perang dan peralihan dari kekuasaan Jepang kepada Sekutu yang menyebabkan kekosongan kekuasaan di Indonesia, para pendiri negara tidak mungkin membuat konstitusi yang sempurna. Bagi mereka, yang paling penting Indonesia merdeka dan ada hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional terbentuknya negara yang merdeka.
Kedua, alasan substantive. Selain sifat kesementaraan itu, perubahan terhadap UUD 1945 tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UUD 1945 sehingga tidak pernah menampilkan pemerintahan yang demokratis. Kelemahan itulah yang menjadi alasan kuat (raison d’etre) untuk mengubah konstitusi hasil karya pendiri bangsa ini. Berdasarkan hasil kajian Kelompok Kerja Reformasi Hukum dan Perundang-undangan yang dibentuk Presiden Habibie, sebelum perubahan UUD 1945 memiliki lima kelemahan mendasar, yaitu :
1. Struktur ketatanegaraan yang sangat executive-heavy
2. Tidak cukup mengatur checks and balances
3. Terdapat ketentuan yang tidak jelas (vague)
4. Terlalu banyak delegasi kepada undang-undang
5. Beberapa muatan Penjelasan UUD 1945 yang tidak konsisten dengan pasal-pasal dalam UUD 1945
Selain itu Kelompok Kerja menambahkan terdapat banyak kekosongan (rech vacuum) yang seharusnya diatur dalam UUD 1945.
Secara substansi, UUD 1945 sangat executive-heavy dan sangat minum checks and balances. Hal ini tidak terlepas dari keinginan pendiri Negara yang ingin memberikan kekuasaan yang lebih besar bagi eksekutif tanpa menentukan batas-batas kekuasaan secara jelas dan minus checks and balances sehingga memberikan kekuasaan yang amat dominan kepada Presiden. Dalam system presidential, presiden cenderung diberikan kekuasaan yang relative besar, namun desain konstitusi harus cenderung mampu mengantisipasi agar presiden tidak menjadi pemimpin yang otoriter.
Di Indonesia, kekuasaan besar yang diberikan tanpa control konstitusional yang memadai. Dalam ranah legislasi misalnya, meski sudah dijelaskan sebelumnya bahwa DPR dan Presiden merupakan pemegang kekuasaan legislasi, dalam praktek presiden jauh lebih dominan dibanding dengan DPR. Mahfud mengilustrasikan, sebuah RUU yang telah disetujui DPR jika tidak disahkan presiden, tidak dapat diajukan lagi. Begitu dominannya presiden, RUU yang sudah disetujui DPR dan pemerintah tidak disahkan oleh presiden. Contoh itu dapat ditambah lagi dengan pembubaran DPR oleh Presiden Soekarno karena lembaga ini menolak Rancangan APBN yang diajukan pemerintah.
Sekalipun Penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah tidak bersifat absolutisme dan Indonesia tidak berdasarkan kekuasaan belaka, namun dengan besarnya kekuasaan lembaga kepresidenan, sangat sulit terciptanya balance of power apalagi checks and balances di antara cabang kekuasaan pemerintah. Apalagi dorongan untuk menjadikan presiden menjadikan presiden mempunyai kekuasaan yang absolute dilegitimasi oleh Penjelasan UUD 1945 yang menyatakan “Presiden adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi di bawah MPR”. Tidak cukup dengan hal itu, dalam menjalankan pemerintahan presiden menjadi pusat kekuasaan dan tanggung jawab penyelenggara negara (concentration of power and responisibility upon the President).
Dalam hal terlalu banyak delegasi kepada undang-undang, Penjelasan UUD 1945 secara ekspisit menyatakan bahwa hukum dasar yang dirancang oleh para pendiri negara bersifat singkat dan supel. Berhubung dengan sifat itu, ditegaskan sebagai berikut:
“Maka telah cukup jikalau UUD hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagi instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara Negara untuk menyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan social. Terutama bagi Negara batu dan Negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanyya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan undang-undang, yang lebih mudah cara membuat, mengubah, dan mencabut”.
Berdasarkan hal itu, UUD 1945 memang telah dirancang sedemikian rupa dengan memberikan pendelegasian yang lebih rendah berupa undang-undang. Dari ketentuan yang ada, setidak-tidaknya UUD 1945 mendelegasikan 15 masalah penting penyelenggaraan negara kepada undang-undang. Masalah-masalah itu meliputi : komposisi keanggotaan MPR, syarat dan akibat keadaan bahaya, susunan Dewan Pertimbangan Agung, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, susunan keanggotaan DPR, pajak, mata uang, keuangan Negara, susnan dan kedudukan kahakiman, syarat menjadi dan diberhentikan sebagai hakim, kewarganegaraan, kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat, pertahanan Negara, dan pendidikan nasional.
Jika diletakkan dalam teori konstitusi, sebagian masalah penting itu seharusnya diatur dengan materi hukum dasar bukan mendelegasikannya menjadi substansi undang-undang. Sebagaimana dinyatakan S.E. Finer, Vernon Bogdanor dan Bernard Rudden, konstitusi merupakan seperangkat norma yang bertujuan mengatur fungsi-fungsi kekuasaan serta tugas diantara berbagai lembaga negara dan mengatur hubungan antara lembaga itu termasuk hubungan dengan masyarakat. Dengan memberikan delegasi yang lebih banyak kepada undang-undang, sebagai the fundamental and organic law of a nation UUD 1945 dapat dikatakan mereduksi diri sendiri sebagai sebuah hukum dasar.
Dalam batas-batas tertentu, jika undang-undang dasar memmberikan atribusi kewenangan untuk mengatur beberapa hal kepada undangt-undang dapat saja dikatakan wajar dan tidak menjadi masalah. Tetapi UUD 1945 terlalu longggar menyerahkan hal-hal yang amat fundamental kepada undang-undang. Dalam system ketatanegaraan yang mengabaikan checks and balances dengan konsentrasi kekuassaan di tangan presiden, sagat mungkin undang-undang mereduksi substansi UUD 1945. Keadaan akan makin bertambah buruk dengan model fungsi legislasi yang berada dalam kendali pemerintah.
Salah satu contoh delegasi ke tingkat undang-undang yang mereduksi substansi konstitusi adalah undang-undang yang berhubungan dengan susunan keanggotaan DPR sepanjang kekuasaan Orde Baru. Pasal 19 ayat 2 UUD 1945 menyatakan “ susunan DPR ditetapkan dengan Undang-undang”. Dengan delegasi UUD 945 untuk menentukan susunan DPR, sejak Pemilihan Umum 1971-1999, sebaian anggota DPR diisi dengan cara penunjukan. Kecuali dalam 1990-an, sejak pemilihan umum pertama OrBa, 100 orang anggota DPR dianggap dari ABRI. Dengan delegasi itu, engineering yang dilakukan undang-undang seolah-olah benar. Kondisi itu diperparah dengan adanya atribusi undang-undang kepada pemerintah )presiden) dalam bentuk peraturan pemerintah dan/atau keputusan presiden. Sepanjang kekuasaan OrBa, seperti dikemukakan Mahfud, pemerintah (presiden) telah mengakumulasikan kekuasaan secara besar-besaran kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 sehingga menjadi rezim otoriter.
Selain masalah delegasi kepada undang-undang, sejumlah pasal UUD 1945 tidak jelas yang membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara berdasarkan konstitusi. Salah satu contoh klasik yang sering dikemukakan yaitu pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan “Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatan selama masa lima tahun, sesudahnya dapat dipilih kembali. Ketentuan yang terdapat dalam pasal 7 UUD 1945 secara jelas mengatur bahwa masa jabatan presiden adalah lima tahun. Ketidakjelasan dan multitafsir itu muncul dengan adanya frase “sesudahnya dapat dipilih kembali” karena tidak ada penegasan atau pembatasan untuk beberapa kali seseorang dapat menduduki jabatan presiden dan wakil presiden.
Dengan adanya pembatasan itu, sejak kembali ke UUD 1945 pada 1959 sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto 1998, tafsr yang dikembangkan dari frase “sesudahnya dapat dipilih kembali” adalah tanpa masa jabatan yang jelas (fex-term) atau durasi tanpa batas. Dalam bahasa Bambang Widjojanto, penafsiran itu kemudian dikendalikan tanpa batasan sampai kapan sesorang dapat menjabat sebagai presiden. Tafsir demikian didukung pandangan normative-legalistik yang dikembangkan sebagai pandangan standar dari kebenaran. Dengan tafsir itu, melalui Tap MPRS No. III/1960, Soekarno pernah ditetapkan sebagai presiden seumur hidup. Begitu juga masa Orde Baru, sekalipun tidak ditetapkan seperti Soekarno, Soeharto dipilih sebagai presiden secara berulang-ulang samapai tujuh kali.
Selain masalah subsatnsi di atas, UUD 1945 terlalu percaya kepada orang bukan kepada system. Padahal semua teori konstitusi mengatakan, salah satu tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kekuasaa negara. Misalnya, van Maarseven dan Ger van der Tang mengemukakan, constitution as a mean of forming the states on political and legal system. Pendapat ini menghendaki bahwa konstitusi harus menjadi dasar untuk membangun system politik dan system hukum. Dengan pengertian itu, system menjadi lebih penting dibandingan orang yang akan mengisi system. Bukan sebaliknya, individu lebih penting daripada membangun system.
Secara substansi, Penjelasan UUD 1945 juga menimbulkan masalah (problematic) dalam penyelenggaraan negara. Sejak awal, Penjelasan UUD 1945 telah memicu pro-kantra. Salah satu penyebabnya, ketika PPKI menetapkan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1845, Penjelasan tidak menjadi bagian dari UUD 1945, Penjelasan pertama kaali ditemukan dalam Berita Republik Indonesia (BRI) Tahun II No.7 tanggal 15 Februari 1946. Dari penelususran Simorangkir, Penjelasan merupakan buah pikiran Supomo yang kemudian dimasukkan bersama-sama Batang Tubuh UUD 1945. Selain itu, penjelasan juga menjadi tidak lazim karena tidak ada konstitusi yang memiliki penjelasan resmi. Apalagi, baik hukum atau kenyataana, Penjelasan diperlakukan dan mempunyai kekeuatan hukum seperti pasal-pasal (Batanng Tubuh) UUD 1945.
Nnamun, problematik Penjelasan UUD 1945 yang sesungguhnya muncul karena muatannya tidak konsisten dengan pasal-pasal yang terdapat dalam pasal-pasal atau Batang Tubuh UUD 1945. Berdasarkan hasil kajian Kelompok Kerja Reformasi hukum dan Perundang-undangan, bagian-bagian yang tidak konsisten itu diantaranya, “Presiden diangkat oleh Majelis dan bertanggungjawab kepada Majelis”. Sementara dalam pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan “presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Dari kutipan di atas, tampak perbedaan antara bunyi Batang Tubuh dan Penjelasan, bahkan ada pertentangan. Dalam praktek, yang diikuti adalah MPR “mengangkat” bukan “memilih” Presiden dan Wakil Presiden. Karena itu, di bawah UUD 1945, sehjak kemaerdekaan sampai berakhirnya kekuasaan Soeeharto, presiden “diangkat” bukan “dipilih”. Bahkan, tambah Harun Alrasyid, selama keuasaan Ordde Baru, kaidah yang hidup dalam pengisian jabatan Presiden dan wakil Presiden adalah tradisi calon tunggal.
Disamping itu, tentang “Presiden bertndak dan bertanggungjawab kepada MPR”. Sebagaimana diketahui, salah satu kelemahan UUD 1945, tidak ada pasal yang mengatur mengenai pertaggungjawaban presiden. Walaupun demikian tidak berarti penjelasan dapat serta merta menentukan “presiden bertindak dan bertanggungjawab kepada MPR”. Kemudian dalam praktek diartikan, MPR dapat memberhentikan presiden. Dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia, Presiden Soekarno (1967) dan Abdurrahman Wahid (2001) diberhentikan MPR dengan menggunakan pranata “persidangan istimewa” yang terdapat dalam Penjelasan UUD 1945.
Ketiga, alasan Filosofis. Bagir Manan mengemukakan, secara filosofis, perubahan UUD 1945 dilakukan, pertama, UUD 1945 merupakan moment opname dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi yang dominan pada saat dirumuskannya UUD 1945. Setelah digunakan dalam waktu yang cukup lama, tentu terdapat berbagai perubahan baik di tingkat nasional maupun global. Kedua, UUD 1945 disusun oleh manusia yang sesuai dengan kodratnya tidak akan pernah sampai pada tingkat kesempurnaan. Pekerjaan yang dilakukan manusia tetap memiliki berbagai kemungkinan kelemahan maupun kekurangan.
Masih dari sudut filsafat kenegaraan, terdapat prinsip kedaulatan yang berpotensi saling menegasikan. Setidaknya, UUD 1945 menganut tiga bentuk kedaulatan, yaitu Kedaulatan rakyat, Kedaulatan hukum, dan Kedaulatan Negara. Dari ketiga hal itu, kadaulatan rakyat dan kedaulatan hukum dapat saling melengkapi. Tetapi kedaulatan Negara menjadi tidak sejalan dengan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Dalam pelaksanaan pemerintahan, kedaulatan Negara akan dengan mudah menjelma menjadi system yang yang otoriter karena Negara dijelmakan oleh individu-individu yang menjalankan pemerintahan. Filsafat kenegaraan itu bisa makin rumit dengan pencampuradukkan antara paham kedaulatan rakyat dengan paham Negara integralistik.
Keempat, alasan teoritis. Dalam praktek ketatanegaraan sering terjadi konstitusi tidak mampu lagi menampung perkembangan yang terjadi. Biasanya untuk mengatasi situasi itu, kondisi harus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam praktek ketatanegaraan. Untuk itu, Karl Loewestein mengemukakan bahwa evaluasi terhadap konstitusi menjadi sesuatu yang esensial untuk mengetahui realitas perubahan yang terjadi. Dengan alasan untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi, perubahan (amandemen) atau pembaruan (reform) konstitusi menjadi pilihan. Jika perubahan tidak dilakukan, ditambahkan oleh Karl Lewenstei, kontitusi akan kehilangan nilai normative karena apa yang diatur dalam konstitusi berbeda dengan yang dipraktekkan.
Kelima, secara praktis, sekalipun tidak mengubah teks, UUD 1945 sudah sering mengalami perubahan. Misalnya, keluarnya Maklumat No. X yang mengubah kedudukan KNP menjadi lembaga legislative yang sejajar dengan presiden. Maklumat ini juga mengamanatkan pembentukan Badan Pekerja KNP untuk melaksanakan tugas sehari-hari KNP. Kemudian, BP KNIP mengusulkan untuk mengubah system pemerintahan dari system presidensial menjadi system parlementer. Terkait dengan perubahan UUD 1945 tanpa mengubah teks, Moh. Fajrul Falaakh mengatakan teks UUD 1945 memang masih seperti katika disahkan pada 18 Agustus 1945, tetapi makna Utusan Golongan dalam keanggotaan MPR, independensi Mahkamah Agung, luas wilayah Negara, identifikasi atass cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, tata cara perubahan UUD 1945, dan tafsir atas kontruksi ketatanegaraan.
Keenam, alasan yuridis. Menyadari ketidak sempurnaan hasil kerja manusia, pembentuk konstitusi Amerika Serikat menyatakan “nothing human can be perfect. Surrounded by difficulties, we did the best we could; leaving it with those who should come after us to take counsel from experience, and exercise prudently the power of amandement, which we had provide….
Pendapat ini membuktikan bahwa perancang konstitusi menyadari perubahan menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari karena kesulitan-kesulitan yang terjadi ketika konstitusi itu dirumuskan dan perubahan dinamika ketatanegaraan yang terjadi di kemudian hari. Untuk mengantisipasi hal ini, setiap konstitusi merumuskan landasan hukum untuk melakukan perubahan.
Seperti pengalaman Amerika Serikat, para penyusun UUD 1945 juga membuat landasan hukum perubahan UUD 1945. Dalam hal ini, pasal 37 UUD 1945 ,menyatakan, (1) untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir, dan (2) putusan diambil sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir. Hadirnya pasal perubahan ini tidak dapat dilepaskan dari kelemahan-kelemahan dan kesulitan-kesulitan yang terjadi di sekitar proses perumusan UUD 1945. Apalagi, para pembentuk UUD 1945 secara eksplisit menegaskan bahwa UUD 1945 bersifat sementara. Karena kelemahan dan kesulitan yang ada serta sifat kesemenataraan itu, landasan hukum perubahan menjadi keniscayaan.
Karena alasan-alasan tersebut, dalam buku Panduan Pemasyarakatan UUD Negarra Republik Indonesia Tahun 1945 yang diterbitkan oleh Sekretaris MPR RI dinyatakan bahwa terdapat tujuh tujuan pokok perubahan UUD 1945 berikut ini:
1. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan Negara dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarka Pancasila.
2. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi
3. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang dicita-citakan oleh UUD 1945.
4. Menyempurnakan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, system saling mengawasi dan saling imbang yang lebih ketat dan transparan dan pembentukan lembaga-lembaga baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.
5. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban Negara mewujudkan kesejahteraan social, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral, dan solidaritas dalam kehiduan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara kesejahteraan
6. Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum
7. Menyempurnakan aturan dasar mengennai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan, serta kepentingan bangsa dan negara Indonesia dewasa ini sekaligus menagkomodasi kecendrungan untuk kurun waktu yang akan datang.
Dari semua alasan melakukan perubahan tersebut, salah satu tujuan pokok adalah melakukan penataan terhadap semua lembaga negara agar tercipta mekanisme saling mengawasi dan saling imbang dianara lembaga negara. Akibatnya, pada salah satu sisi ada lembaga negara yang mendapat tambahan kewenangan secara signifikan, sementara di sisi lain sejumlah lembaga negara yang berkurang kewenangannya. Tidak hanya sekedar terjadi penambahan dan pengurangan kewenangan, perubahan UUD 1945 juga memunculkan lembaga negara yang sama sekali baru. Bahkan karena dinilai tidak relevan lagi dengan kebutuhan, ada lembaga negara yang dihapus dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
Pertama, secara historis, pemikiran yang mendorong perubahan UUD 1945 terkait dengan sifat kesementaraan UUD. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Soekarno sebagai berikut:
“UUD yang dibuat sekarang adalah UUD Sementara. kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah UUD kilat. Nanti kalau kita telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis permusyawaratan rakyat yang dapat membuat UUD yang lebih lengkap dan lebih sempurna.”
Dalam kesempatan pelantikan anggota Konstituante pada tanggal 10 November 1956, Soekarno mengulangi kembali pernyataan yang hampir senada sebagai berikut:
“kita bukan tidak punya konstitusi, malahan dengan konstitusi yang berlaku sekarang (UUD Sementara 1950,pen.) kita sudah mempunyai tiga konstitusi. Tapi semua konstitusi itu (UUd 1945, KRIS 1949 dan UUD Sementara 1950,pen.) adalah bersifat sementara. Semua konstitusi itu bukanlah hasil permusyawaratan antara angggota-anggota sesuatu konstituanse yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Semua konstitusi itu adalah buatan sarjana konstitusi, atas amanat pemerintah. Tapi semua Negara hukum yang demokratis, menghendaki sebagai syarat mutlak sebbuah konstitusi yang dibuat oleh tangan rakyat sendiri”.
Alasan Soekarno mengatakan konstitusi sebagai konstitusi sementara terkait dengan kondisi obyektif yang berada di sekitar persiapan dan penetapan UUD 1945 itu sendiri. Ketika itu, dalam suasana perang dan peralihan dari kekuasaan Jepang kepada Sekutu yang menyebabkan kekosongan kekuasaan di Indonesia, para pendiri negara tidak mungkin membuat konstitusi yang sempurna. Bagi mereka, yang paling penting Indonesia merdeka dan ada hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional terbentuknya negara yang merdeka.
Kedua, alasan substantive. Selain sifat kesementaraan itu, perubahan terhadap UUD 1945 tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UUD 1945 sehingga tidak pernah menampilkan pemerintahan yang demokratis. Kelemahan itulah yang menjadi alasan kuat (raison d’etre) untuk mengubah konstitusi hasil karya pendiri bangsa ini. Berdasarkan hasil kajian Kelompok Kerja Reformasi Hukum dan Perundang-undangan yang dibentuk Presiden Habibie, sebelum perubahan UUD 1945 memiliki lima kelemahan mendasar, yaitu :
1. Struktur ketatanegaraan yang sangat executive-heavy
2. Tidak cukup mengatur checks and balances
3. Terdapat ketentuan yang tidak jelas (vague)
4. Terlalu banyak delegasi kepada undang-undang
5. Beberapa muatan Penjelasan UUD 1945 yang tidak konsisten dengan pasal-pasal dalam UUD 1945
Selain itu Kelompok Kerja menambahkan terdapat banyak kekosongan (rech vacuum) yang seharusnya diatur dalam UUD 1945.
Secara substansi, UUD 1945 sangat executive-heavy dan sangat minum checks and balances. Hal ini tidak terlepas dari keinginan pendiri Negara yang ingin memberikan kekuasaan yang lebih besar bagi eksekutif tanpa menentukan batas-batas kekuasaan secara jelas dan minus checks and balances sehingga memberikan kekuasaan yang amat dominan kepada Presiden. Dalam system presidential, presiden cenderung diberikan kekuasaan yang relative besar, namun desain konstitusi harus cenderung mampu mengantisipasi agar presiden tidak menjadi pemimpin yang otoriter.
Di Indonesia, kekuasaan besar yang diberikan tanpa control konstitusional yang memadai. Dalam ranah legislasi misalnya, meski sudah dijelaskan sebelumnya bahwa DPR dan Presiden merupakan pemegang kekuasaan legislasi, dalam praktek presiden jauh lebih dominan dibanding dengan DPR. Mahfud mengilustrasikan, sebuah RUU yang telah disetujui DPR jika tidak disahkan presiden, tidak dapat diajukan lagi. Begitu dominannya presiden, RUU yang sudah disetujui DPR dan pemerintah tidak disahkan oleh presiden. Contoh itu dapat ditambah lagi dengan pembubaran DPR oleh Presiden Soekarno karena lembaga ini menolak Rancangan APBN yang diajukan pemerintah.
Sekalipun Penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah tidak bersifat absolutisme dan Indonesia tidak berdasarkan kekuasaan belaka, namun dengan besarnya kekuasaan lembaga kepresidenan, sangat sulit terciptanya balance of power apalagi checks and balances di antara cabang kekuasaan pemerintah. Apalagi dorongan untuk menjadikan presiden menjadikan presiden mempunyai kekuasaan yang absolute dilegitimasi oleh Penjelasan UUD 1945 yang menyatakan “Presiden adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi di bawah MPR”. Tidak cukup dengan hal itu, dalam menjalankan pemerintahan presiden menjadi pusat kekuasaan dan tanggung jawab penyelenggara negara (concentration of power and responisibility upon the President).
Dalam hal terlalu banyak delegasi kepada undang-undang, Penjelasan UUD 1945 secara ekspisit menyatakan bahwa hukum dasar yang dirancang oleh para pendiri negara bersifat singkat dan supel. Berhubung dengan sifat itu, ditegaskan sebagai berikut:
“Maka telah cukup jikalau UUD hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagi instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara Negara untuk menyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan social. Terutama bagi Negara batu dan Negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanyya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan undang-undang, yang lebih mudah cara membuat, mengubah, dan mencabut”.
Berdasarkan hal itu, UUD 1945 memang telah dirancang sedemikian rupa dengan memberikan pendelegasian yang lebih rendah berupa undang-undang. Dari ketentuan yang ada, setidak-tidaknya UUD 1945 mendelegasikan 15 masalah penting penyelenggaraan negara kepada undang-undang. Masalah-masalah itu meliputi : komposisi keanggotaan MPR, syarat dan akibat keadaan bahaya, susunan Dewan Pertimbangan Agung, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, susunan keanggotaan DPR, pajak, mata uang, keuangan Negara, susnan dan kedudukan kahakiman, syarat menjadi dan diberhentikan sebagai hakim, kewarganegaraan, kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat, pertahanan Negara, dan pendidikan nasional.
Jika diletakkan dalam teori konstitusi, sebagian masalah penting itu seharusnya diatur dengan materi hukum dasar bukan mendelegasikannya menjadi substansi undang-undang. Sebagaimana dinyatakan S.E. Finer, Vernon Bogdanor dan Bernard Rudden, konstitusi merupakan seperangkat norma yang bertujuan mengatur fungsi-fungsi kekuasaan serta tugas diantara berbagai lembaga negara dan mengatur hubungan antara lembaga itu termasuk hubungan dengan masyarakat. Dengan memberikan delegasi yang lebih banyak kepada undang-undang, sebagai the fundamental and organic law of a nation UUD 1945 dapat dikatakan mereduksi diri sendiri sebagai sebuah hukum dasar.
Dalam batas-batas tertentu, jika undang-undang dasar memmberikan atribusi kewenangan untuk mengatur beberapa hal kepada undangt-undang dapat saja dikatakan wajar dan tidak menjadi masalah. Tetapi UUD 1945 terlalu longggar menyerahkan hal-hal yang amat fundamental kepada undang-undang. Dalam system ketatanegaraan yang mengabaikan checks and balances dengan konsentrasi kekuassaan di tangan presiden, sagat mungkin undang-undang mereduksi substansi UUD 1945. Keadaan akan makin bertambah buruk dengan model fungsi legislasi yang berada dalam kendali pemerintah.
Salah satu contoh delegasi ke tingkat undang-undang yang mereduksi substansi konstitusi adalah undang-undang yang berhubungan dengan susunan keanggotaan DPR sepanjang kekuasaan Orde Baru. Pasal 19 ayat 2 UUD 1945 menyatakan “ susunan DPR ditetapkan dengan Undang-undang”. Dengan delegasi UUD 945 untuk menentukan susunan DPR, sejak Pemilihan Umum 1971-1999, sebaian anggota DPR diisi dengan cara penunjukan. Kecuali dalam 1990-an, sejak pemilihan umum pertama OrBa, 100 orang anggota DPR dianggap dari ABRI. Dengan delegasi itu, engineering yang dilakukan undang-undang seolah-olah benar. Kondisi itu diperparah dengan adanya atribusi undang-undang kepada pemerintah )presiden) dalam bentuk peraturan pemerintah dan/atau keputusan presiden. Sepanjang kekuasaan OrBa, seperti dikemukakan Mahfud, pemerintah (presiden) telah mengakumulasikan kekuasaan secara besar-besaran kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 sehingga menjadi rezim otoriter.
Selain masalah delegasi kepada undang-undang, sejumlah pasal UUD 1945 tidak jelas yang membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara berdasarkan konstitusi. Salah satu contoh klasik yang sering dikemukakan yaitu pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan “Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatan selama masa lima tahun, sesudahnya dapat dipilih kembali. Ketentuan yang terdapat dalam pasal 7 UUD 1945 secara jelas mengatur bahwa masa jabatan presiden adalah lima tahun. Ketidakjelasan dan multitafsir itu muncul dengan adanya frase “sesudahnya dapat dipilih kembali” karena tidak ada penegasan atau pembatasan untuk beberapa kali seseorang dapat menduduki jabatan presiden dan wakil presiden.
Dengan adanya pembatasan itu, sejak kembali ke UUD 1945 pada 1959 sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto 1998, tafsr yang dikembangkan dari frase “sesudahnya dapat dipilih kembali” adalah tanpa masa jabatan yang jelas (fex-term) atau durasi tanpa batas. Dalam bahasa Bambang Widjojanto, penafsiran itu kemudian dikendalikan tanpa batasan sampai kapan sesorang dapat menjabat sebagai presiden. Tafsir demikian didukung pandangan normative-legalistik yang dikembangkan sebagai pandangan standar dari kebenaran. Dengan tafsir itu, melalui Tap MPRS No. III/1960, Soekarno pernah ditetapkan sebagai presiden seumur hidup. Begitu juga masa Orde Baru, sekalipun tidak ditetapkan seperti Soekarno, Soeharto dipilih sebagai presiden secara berulang-ulang samapai tujuh kali.
Selain masalah subsatnsi di atas, UUD 1945 terlalu percaya kepada orang bukan kepada system. Padahal semua teori konstitusi mengatakan, salah satu tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kekuasaa negara. Misalnya, van Maarseven dan Ger van der Tang mengemukakan, constitution as a mean of forming the states on political and legal system. Pendapat ini menghendaki bahwa konstitusi harus menjadi dasar untuk membangun system politik dan system hukum. Dengan pengertian itu, system menjadi lebih penting dibandingan orang yang akan mengisi system. Bukan sebaliknya, individu lebih penting daripada membangun system.
Secara substansi, Penjelasan UUD 1945 juga menimbulkan masalah (problematic) dalam penyelenggaraan negara. Sejak awal, Penjelasan UUD 1945 telah memicu pro-kantra. Salah satu penyebabnya, ketika PPKI menetapkan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1845, Penjelasan tidak menjadi bagian dari UUD 1945, Penjelasan pertama kaali ditemukan dalam Berita Republik Indonesia (BRI) Tahun II No.7 tanggal 15 Februari 1946. Dari penelususran Simorangkir, Penjelasan merupakan buah pikiran Supomo yang kemudian dimasukkan bersama-sama Batang Tubuh UUD 1945. Selain itu, penjelasan juga menjadi tidak lazim karena tidak ada konstitusi yang memiliki penjelasan resmi. Apalagi, baik hukum atau kenyataana, Penjelasan diperlakukan dan mempunyai kekeuatan hukum seperti pasal-pasal (Batanng Tubuh) UUD 1945.
Nnamun, problematik Penjelasan UUD 1945 yang sesungguhnya muncul karena muatannya tidak konsisten dengan pasal-pasal yang terdapat dalam pasal-pasal atau Batang Tubuh UUD 1945. Berdasarkan hasil kajian Kelompok Kerja Reformasi hukum dan Perundang-undangan, bagian-bagian yang tidak konsisten itu diantaranya, “Presiden diangkat oleh Majelis dan bertanggungjawab kepada Majelis”. Sementara dalam pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan “presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Dari kutipan di atas, tampak perbedaan antara bunyi Batang Tubuh dan Penjelasan, bahkan ada pertentangan. Dalam praktek, yang diikuti adalah MPR “mengangkat” bukan “memilih” Presiden dan Wakil Presiden. Karena itu, di bawah UUD 1945, sehjak kemaerdekaan sampai berakhirnya kekuasaan Soeeharto, presiden “diangkat” bukan “dipilih”. Bahkan, tambah Harun Alrasyid, selama keuasaan Ordde Baru, kaidah yang hidup dalam pengisian jabatan Presiden dan wakil Presiden adalah tradisi calon tunggal.
Disamping itu, tentang “Presiden bertndak dan bertanggungjawab kepada MPR”. Sebagaimana diketahui, salah satu kelemahan UUD 1945, tidak ada pasal yang mengatur mengenai pertaggungjawaban presiden. Walaupun demikian tidak berarti penjelasan dapat serta merta menentukan “presiden bertindak dan bertanggungjawab kepada MPR”. Kemudian dalam praktek diartikan, MPR dapat memberhentikan presiden. Dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia, Presiden Soekarno (1967) dan Abdurrahman Wahid (2001) diberhentikan MPR dengan menggunakan pranata “persidangan istimewa” yang terdapat dalam Penjelasan UUD 1945.
Ketiga, alasan Filosofis. Bagir Manan mengemukakan, secara filosofis, perubahan UUD 1945 dilakukan, pertama, UUD 1945 merupakan moment opname dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi yang dominan pada saat dirumuskannya UUD 1945. Setelah digunakan dalam waktu yang cukup lama, tentu terdapat berbagai perubahan baik di tingkat nasional maupun global. Kedua, UUD 1945 disusun oleh manusia yang sesuai dengan kodratnya tidak akan pernah sampai pada tingkat kesempurnaan. Pekerjaan yang dilakukan manusia tetap memiliki berbagai kemungkinan kelemahan maupun kekurangan.
Masih dari sudut filsafat kenegaraan, terdapat prinsip kedaulatan yang berpotensi saling menegasikan. Setidaknya, UUD 1945 menganut tiga bentuk kedaulatan, yaitu Kedaulatan rakyat, Kedaulatan hukum, dan Kedaulatan Negara. Dari ketiga hal itu, kadaulatan rakyat dan kedaulatan hukum dapat saling melengkapi. Tetapi kedaulatan Negara menjadi tidak sejalan dengan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Dalam pelaksanaan pemerintahan, kedaulatan Negara akan dengan mudah menjelma menjadi system yang yang otoriter karena Negara dijelmakan oleh individu-individu yang menjalankan pemerintahan. Filsafat kenegaraan itu bisa makin rumit dengan pencampuradukkan antara paham kedaulatan rakyat dengan paham Negara integralistik.
Keempat, alasan teoritis. Dalam praktek ketatanegaraan sering terjadi konstitusi tidak mampu lagi menampung perkembangan yang terjadi. Biasanya untuk mengatasi situasi itu, kondisi harus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam praktek ketatanegaraan. Untuk itu, Karl Loewestein mengemukakan bahwa evaluasi terhadap konstitusi menjadi sesuatu yang esensial untuk mengetahui realitas perubahan yang terjadi. Dengan alasan untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi, perubahan (amandemen) atau pembaruan (reform) konstitusi menjadi pilihan. Jika perubahan tidak dilakukan, ditambahkan oleh Karl Lewenstei, kontitusi akan kehilangan nilai normative karena apa yang diatur dalam konstitusi berbeda dengan yang dipraktekkan.
Kelima, secara praktis, sekalipun tidak mengubah teks, UUD 1945 sudah sering mengalami perubahan. Misalnya, keluarnya Maklumat No. X yang mengubah kedudukan KNP menjadi lembaga legislative yang sejajar dengan presiden. Maklumat ini juga mengamanatkan pembentukan Badan Pekerja KNP untuk melaksanakan tugas sehari-hari KNP. Kemudian, BP KNIP mengusulkan untuk mengubah system pemerintahan dari system presidensial menjadi system parlementer. Terkait dengan perubahan UUD 1945 tanpa mengubah teks, Moh. Fajrul Falaakh mengatakan teks UUD 1945 memang masih seperti katika disahkan pada 18 Agustus 1945, tetapi makna Utusan Golongan dalam keanggotaan MPR, independensi Mahkamah Agung, luas wilayah Negara, identifikasi atass cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, tata cara perubahan UUD 1945, dan tafsir atas kontruksi ketatanegaraan.
Keenam, alasan yuridis. Menyadari ketidak sempurnaan hasil kerja manusia, pembentuk konstitusi Amerika Serikat menyatakan “nothing human can be perfect. Surrounded by difficulties, we did the best we could; leaving it with those who should come after us to take counsel from experience, and exercise prudently the power of amandement, which we had provide….
Pendapat ini membuktikan bahwa perancang konstitusi menyadari perubahan menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari karena kesulitan-kesulitan yang terjadi ketika konstitusi itu dirumuskan dan perubahan dinamika ketatanegaraan yang terjadi di kemudian hari. Untuk mengantisipasi hal ini, setiap konstitusi merumuskan landasan hukum untuk melakukan perubahan.
Seperti pengalaman Amerika Serikat, para penyusun UUD 1945 juga membuat landasan hukum perubahan UUD 1945. Dalam hal ini, pasal 37 UUD 1945 ,menyatakan, (1) untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir, dan (2) putusan diambil sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir. Hadirnya pasal perubahan ini tidak dapat dilepaskan dari kelemahan-kelemahan dan kesulitan-kesulitan yang terjadi di sekitar proses perumusan UUD 1945. Apalagi, para pembentuk UUD 1945 secara eksplisit menegaskan bahwa UUD 1945 bersifat sementara. Karena kelemahan dan kesulitan yang ada serta sifat kesemenataraan itu, landasan hukum perubahan menjadi keniscayaan.
Karena alasan-alasan tersebut, dalam buku Panduan Pemasyarakatan UUD Negarra Republik Indonesia Tahun 1945 yang diterbitkan oleh Sekretaris MPR RI dinyatakan bahwa terdapat tujuh tujuan pokok perubahan UUD 1945 berikut ini:
1. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan Negara dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarka Pancasila.
2. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi
3. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang dicita-citakan oleh UUD 1945.
4. Menyempurnakan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, system saling mengawasi dan saling imbang yang lebih ketat dan transparan dan pembentukan lembaga-lembaga baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.
5. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban Negara mewujudkan kesejahteraan social, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral, dan solidaritas dalam kehiduan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara kesejahteraan
6. Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum
7. Menyempurnakan aturan dasar mengennai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan, serta kepentingan bangsa dan negara Indonesia dewasa ini sekaligus menagkomodasi kecendrungan untuk kurun waktu yang akan datang.
Dari semua alasan melakukan perubahan tersebut, salah satu tujuan pokok adalah melakukan penataan terhadap semua lembaga negara agar tercipta mekanisme saling mengawasi dan saling imbang dianara lembaga negara. Akibatnya, pada salah satu sisi ada lembaga negara yang mendapat tambahan kewenangan secara signifikan, sementara di sisi lain sejumlah lembaga negara yang berkurang kewenangannya. Tidak hanya sekedar terjadi penambahan dan pengurangan kewenangan, perubahan UUD 1945 juga memunculkan lembaga negara yang sama sekali baru. Bahkan karena dinilai tidak relevan lagi dengan kebutuhan, ada lembaga negara yang dihapus dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
Landasan hukum
diadakannya perubahan / Amandemen UUD 1945
Landasan hukum diadakannya
perubahan / Amandemen UUD 1945
Perubahan undang-undang dasar merupakan suatu
peristiwa yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa karena akan membawa
pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan sejarah kehidupan bangsa.
Perubahan undang-undang dasar akan menentukan masa depan kehidupan bangsa serta
kesejahteraan bangsa tersebut. Undang-undang dasar 1945 merupakan hokum dasar
yang tertulis bagi kehidupan bangsa Indonesia maka sangat mempengaruhi
kehidupan bangsa Indonesia terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mengingat pentingnya UUD 1945 bagi bangsa
Indonesia maka perlu dipertimbangkan secara matang apabila ingin diadakan
perubahan. Perubahan UUD 1945 harus bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan
bangsa, sesuai dengan aspirasi rakyat serta perkembangan kehidupan bangsa
Indonesia. Agar perubahan UUD 1945 memiliki kekuatan hokum yang sah maka
perubahan UUD 1945 harus memiliki landasan / dasar hokum yang jelas.
Adapun dasar hokum perubahan UUD 1945 adalah
UUD 1945 itu sendiri, yaitu pasal 37 yang berbunyi :
1.
Untuk mengubah
undang-undang dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota majelis
permusyawaratan rakyat harus hadir.
2.
Putusan diambil dengan
persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota yang hadir.
Apakah Isi Pokok Pembukaan UUD 1945 Juga diamandemen ?
Isi pokok bagian pembukaan tetap sama dengan
UUD 1945 (UUD Proklamasi. Sebab, bagian pembukaan tidak mengalami perubahan
hanya dilakukan pada bagian batang tubuh (pasal-pasal) yang ada di UUD 1945.
sehingga dalam UUD 1945 hasil amandemen terdapat penambahan dan pengurangan
pasal-pasal.
Adapun isi pokok UUD 1945 hasil amandemen
meliputi bentuk dan kedaulatan, MPR kekuasaan pemerintahan Negara, kementerian
Negara, pemerintahan Negara, DPR, DPRD pemilu, hal keuangan. Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), kekuasaan kehakiman, wilayah Negara, warga Negara dan penduduk,
HAM, agama pertahanan dan keamanan Negara, pendidikan dan kebudayaan,
perekonomian dan kesejahteraan social, bendera, bahasa, lambing Negara, lagu kebangsaan,
dan perubahan undang-undang dasar. Disamping itu, dalam UUD 1945 hasil
amandemen juga terdapat tiga pasal aturan peralihan dan dua pasal aturan
tambahan.
Adapun tentang dewan pertimbangan Agung (DPA),
dilakukan penghapusan . selain DPA, bagian penjelasan juga dihapus. Sehingga
UUD 1945 hasil amandemen hanya terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal (pasal II
aturan tambahan). Tidak ada lagi bagian penjelasan.
Alasan UUD 1945 Diamandemen adalah sebagai berikut :
- Karena UUD 1945 merupakan hukum dasar
tertulis yang dijadikan landasan dalam
penyelenggaraan Negara maka harus sesuai dengan aspirasi
tuntutan kehidupan masyarakat Indonesia. Mengingat kehidupan masyarakat
Indonesia yang selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan peradaban manusia
pada umumnya maka UUD 1945 diamandemen oleh MPR. Perubahan UUD 1945 memiliki
arti yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia.
- Karena menghilangkan pandangan adanya
keyakinan bahwa UUD 1945 merupakan hal yang sacral, tidak bisa diubah, diganti,
dikaji mendalam tentang kebenaran seperti doktrin yang diterapkan pada masa
orde baru.
- Karena perubahan UUD 1945 memberikan peluang
kepada bangsa Indonesia untuk membangun dirinya atau melaksanakan pembangunan
yang sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat.
- Karena perubahan UUD 1945 mendidik jiwa
demoktrasi yang sudah dipelopori oleh MPR pada waktu mengadakan perubahan UUD
itu sendiri, sehingga lembaga Negara, badan badan lainnya serta dalam kehidupan
masyarakat berkembang jiwa demokrasi.
- Karena perubahan UUD 1945 menghilangkan
kesan jiwa UUD 1945 yang sentralistik dan otoriter sebab dengan adanya
amandemen UUD 1945 masa jabatan presiden dibatasi, kekuasaan presiden dibatasi,
system pemerintahan dsentralisasi dan otonomi
- Karena perubahan UUD 1945 menghidupkan
perkembangan politik kea rah keterbukaan.
- Karena perubahan UUD 1945 mendorong para
cendekiawan dan berbagai tokoh masyarakat untuk lebih proaktif dan kreatif
mengkritisi pemerintah (demi kebaikan) sehingga mendorong kehidupan bangsa yang
dinamis (berkembang) dalam segala bidang, baik politik, ekonomi, social budaya
sehingga dapat mewujudkan kehidupan yang maju dan sejahtera sejajar dengan
bangsa-bangsa lain yang telah maju.
0 komentar:
Posting Komentar